Tak Ada Kantor, Tak Ada Kades: Pemerintahan Desa Tawabi Dipertanyakan

Klikdua, Halsel – Di sudut sepi Desa Tawabi, Bacan Barat, berdiri sebuah bangunan tua yang nyaris tak berfungsi. Bangunan itu seharusnya menjadi pusat pelayanan warga, tempat musyawarah desa dilangsungkan, serta titik temu antara aspirasi masyarakat dan penyelenggara negara. Tapi hari ini, bangunan itu tak lebih dari gedung kosong yang ditinggalkan. (22/06)

Kantor Desa Tawabi kini rusak berat. Dindingnya mengelupas, atap bocor, jendela lapuk, dan di dalamnya, tak ada tanda-tanda kehidupan birokrasi. Ironisnya, pelayanan pemerintahan tetap harus berjalan tapi bukan dari gedung itu. Rapat-rapat desa, termasuk Musyawarah Desa (Musdes), belakangan diketahui dilakukan di rumah warga bahkan di atas jembatan.

Gerakan Pemuda Marhaenisme (GPM) Bacan Barat menjadi salah satu pihak yang menyoroti situasi ini. Ketua PAC-nya, Yusri Dukomalamo, mempertanyakan keseriusan Pemerintah Desa Tawabi dan lemahnya pengawasan dari dinas terkait.

“Dari masa penjabat hingga kepala desa sekarang, persoalan ini tidak selesai. Ini bentuk kelalaian,” ujar Yusri dalam pernyataan terbukanya.

Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014 menyebutkan bahwa kepala desa bertugas menyelenggarakan pemerintahan yang tertib dan efektif, menyediakan sarana publik, serta bertanggung jawab atas pengelolaan aset desa. Namun dalam kasus Tawabi, makna dari regulasi itu seperti lenyap di tengah kenyataan lapangan.

Menurut GPM, kepala desa lebih sering berada di luar desa, khususnya di Labuha, ibu kota kabupaten. Situasi ini memperparah jarak sosial antara pemimpin dan masyarakat desa.

“Kalau pemimpinnya tidak tinggal di desa, lalu siapa yang hadir di tengah rakyat?” tanya Yusri.

GPM Bacan Barat mendesak Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Halmahera Selatan untuk meninjau langsung kondisi kantor desa. Mereka juga meminta evaluasi kinerja terhadap Kepala Desa Rais Conoras dan sanksi administratif jika terbukti lalai.

Permendagri No. 40 Tahun 2021 menyatakan bahwa setiap aset desa harus dikelola dengan baik dan tidak boleh dibiarkan rusak atau terbengkalai. Namun regulasi ini tampaknya belum memiliki daya tekan di lapangan.

Kantor desa bukan sekadar bangunan administratif. Ia adalah simbol hadirnya negara di ruang paling kecil: kampung. Ketika simbol itu rusak dan ditinggalkan, maka rasa kepercayaan terhadap negara pun ikut merapuh.

Di tengah upaya besar reformasi birokrasi dan dana desa yang terus mengalir setiap tahun, kasus Tawabi menjadi pengingat bahwa perubahan tidak hanya soal anggaran dan regulasi, tetapi juga soal kehadiran pemimpin, kesungguhan pengawasan, dan akuntabilitas publik.

Hingga laporan ini diturunkan, Kepala Desa Tawabi belum memberikan tanggapan resmi atas desakan dari GPM. DPMD Halsel juga belum merilis pernyataan publik.(tim/red)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *