Di Maluku Utara, perubahan tidak datang dengan gemuruh. Ia mengalir pelan seperti riak air di kali kecil, namun dalam diamnya menyimpan daya ubah yang luar biasa. Salah satu perubahan itu adalah hadirnya gawai—atau yang lebih akrab disebut HP pintar. Sebuah benda kecil yang dulu hanya alat komunikasi, kini menjadi pusat dari segalanya: hiburan, belajar, komunikasi, bahkan pelarian. Namun di balik kecanggihan itu, ada satu hal yang perlahan memudar: fokus belajar siswa. Fenomena ini tidak hanya terlihat di kota-kota besar, tetapi juga menyentuh hingga desa-desa pesisir dan pegunungan di Halmahera Tengah, Pulau Taliabu, hingga Bacan. Dalam dunia yang makin terhubung ini, paradoks pun muncul: semakin banyak informasi, justru semakin sedikit perhatian.
Gawai dan Ilusi Belajar
Hari ini, seorang siswa SD di Weda bisa menjawab siapa YouTuber paling terkenal, tetapi gagap ketika ditanya nama pahlawan lokal. Siswa SMP di Pulau Obi bisa menghafal urutan skin game daring, tapi kesulitan mengingat tanggal-tanggal penting dalam sejarah Indonesia. Kita sedang berhadapan dengan generasi yang terpapar layar sejak dini, tanpa memiliki kemampuan menyaring apa yang penting dan apa yang hanya distraksi. Gawai menyajikan segalanya secara cepat dan instan. Tidak perlu membaca buku tebal atau mencatat pelajaran panjang, cukup cari di Google atau tonton di YouTube. Akibatnya, siswa makin jarang menyelami kedalaman materi, dan lebih suka menghafal potongan-potongan kecil yang mudah dikonsumsi. Pola ini menggeser orientasi belajar dari pemahaman menjadi kecepatan.
Data dan Realitas: Potret di Lapangan
Menurut catatan dari Dinas Pendidikan Maluku Utara (2023), lebih dari 65% siswa SMA dan SMP menggunakan ponsel lebih dari 5 jam sehari. Dari jumlah itu, hanya 15% yang menggunakan untuk kegiatan belajar seperti membaca e-book atau mengikuti pembelajaran daring. Sisanya? Dominan digunakan untuk media sosial, game online, dan konten hiburan lainnya. Di Halmahera Timur, seorang guru honorer bercerita bahwa siswa-siswanya lebih cepat merespons panggilan grup WhatsApp dibanding tugas sekolah. Bahkan ada siswa yang membawa dua HP ke sekolah: satu untuk keperluan belajar, satu lagi untuk hiburan saat guru tidak memperhatikan. Ini bukan sekadar soal kedisiplinan, tapi menyangkut perubahan struktur kognitif akibat paparan digital berlebihan.
Sekolah Tak Lagi Hening
Jika dulu ruang kelas adalah tempat penuh keheningan dan konsentrasi, kini kehadiran gawai merusak suasana itu. Siswa sering kali terlihat menunduk, bukan karena sedang menulis, tetapi karena sedang membalas pesan atau menggulir feed media sosial. Guru menjadi seperti pengawas yang tak henti mengingatkan, bukan lagi pendidik yang membangun dialog bermakna.
Situasi ini diperparah oleh kurangnya kebijakan yang mengatur penggunaan gawai secara bijak di sekolah. Beberapa sekolah mencoba menerapkan larangan total, tapi gagal karena tak bisa membendung arus budaya digital yang lebih besar. Ada pula sekolah yang justru membolehkan penggunaan gawai, dengan dalih memfasilitasi pembelajaran, tetapi tanpa sistem kontrol yang jelas. Akibatnya, ruang belajar berubah menjadi ruang gangguan.
Dimensi Filosofis: Manusia yang Terpecah
Secara filosofis, fenomena ini dapat dibaca sebagai bentuk keterpecahan subjek. Dalam istilah Jean Baudrillard, kita sedang hidup dalam “era simulakra”—di mana realitas tergantikan oleh representasi. Siswa tidak lagi hidup dalam dunia konkret belajar-mengajar, tetapi dalam citra tentang belajar: membuka aplikasi belajar, tapi kemudian berpindah ke TikTok; mencatat pelajaran, tapi hanya untuk diposting di Instagram. Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) menekankan pentingnya kesadaran kritis (critical consciousness) dalam pendidikan. Tanpa itu, siswa hanya akan menjadi objek yang diisi, bukan subjek yang berpikir. Gawai yang tak terkendali justru menjauhkan siswa dari proses reflektif ini. Mereka menjadi penonton dalam hidupnya sendiri.
Psikologi Digital dan Krisis Konsentrasi
Secara neurologis, paparan gawai yang terus-menerus memengaruhi kerja otak. Dopamin yang dilepaskan ketika mendapat notifikasi atau menang dalam game menciptakan efek candu. Otak terbiasa dengan stimulus instan, dan menjadi tidak sabar dengan proses belajar yang membutuhkan waktu dan ketekunan. Inilah yang disebut “attention deficit culture” oleh Nicholas Carr dalam bukunya The Shallows (2010). Kondisi ini bisa sangat berbahaya bagi generasi muda yang struktur kognitif dan emosinya belum stabil. Ketika fokus belajar terganggu, maka proses berpikir kritis, kemampuan memecahkan masalah, dan daya tahan terhadap tantangan pun ikut melemah. Di titik ini, pendidikan tidak hanya terancam secara akademik, tetapi juga secara eksistensial.
Peran Guru dan Orang Tua: Menjadi Penuntun
Masalah ini tidak bisa diserahkan hanya kepada siswa. Guru dan orang tua memegang peran penting dalam membentuk ekosistem belajar yang sehat. Namun di lapangan, tidak sedikit orang tua yang justru menjadi contoh buruk: sibuk dengan ponsel saat menemani anak belajar, atau membelikan gawai tanpa membatasi penggunaannya.Guru pun butuh pelatihan digital yang tidak hanya teknis, tapi juga etis. Literasi digital bukan hanya kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga kemampuan menyeleksi, membatasi, dan memahami dampak psikososial dari penggunaannya. Ini yang masih absen dalam banyak pelatihan guru di daerah-daerah Maluku Utara.
Menuju Ekologi Pendidikan yang Seimbang
Untuk keluar dari krisis ini, kita butuh pendekatan holistik. Bukan hanya larangan atau himbauan moral, tapi rekonstruksi menyeluruh atas sistem pendidikan yang sadar akan konteks digital. Kurikulum harus menyisipkan pendidikan karakter digital, bukan hanya sekadar memasukkan teknologi ke ruang kelas. Di sisi lain, komunitas lokal juga bisa menjadi kekuatan penting. Di beberapa desa di Halmahera Barat, misalnya, sudah mulai ada inisiatif belajar kolektif di rumah baca kampung yang membatasi penggunaan HP dan mengajak siswa membaca buku fisik. Praktik-praktik seperti ini harus didukung oleh kebijakan kabupaten dan provinsi.
Menyalakan Lentera, Mencari Jalan Pulang
Apa yang kita hadapi hari ini bukan sekadar kecanduan gawai, tapi krisis arah. Fokus yang tersesat bukan hanya milik siswa, tapi juga milik kita sebagai masyarakat yang belum selesai mendefinisikan pendidikan di era digital. Jika kita ingin menyelamatkan generasi ini, kita harus menyalakan lentera: lentera pemahaman, lentera kebijaksanaan, dan lentera kasih. Pendidikan bukan sekadar mentransfer pengetahuan, tetapi membentuk manusia yang utuh—yang bisa memilih, memilah, dan mencintai proses. Dalam rimba digital yang bising dan gemerlap ini, tugas kita adalah menunjukkan jalan pulang. Agar siswa tidak hanya tahu bagaimana menggulir layar, tetapi juga bagaimana membuka halaman-halaman hidup dengan penuh makna.***
Oleh: Agus Hi. Jamal