Dari Kampus ke Kampung: Tri Dharma sebagai Laku, Bukan Sekadar Teks ( Diskursus Mahasiswa UMMU Malut)

Di tengah gejolak zaman dan derasnya arus digitalisasi, mahasiswa Muhammadiyah di Maluku Utara dihadapkan pada satu pertanyaan mendasar: apakah Tri Dharma Perguruan Tinggi hanya sekadar mantra yang dihafal, atau sungguh menjadi laku hidup yang dijalankan? Tiga pilar utama—pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat—seharusnya tidak terjebak dalam seminar dan lembar sertifikat belaka. Ia adalah semacam laku spiritual-intelektual, sebuah jalan panjang yang menghubungkan kampus dan kampung, teori dan praksis, wacana dan kehidupan.
Pendidikan dan Pengajaran: Menyemai Nalar Kritis
Sebagai titik pertama dalam Tri Dharma, pendidikan dan pengajaran tidak boleh dimaknai sebagai proses satu arah dari dosen ke mahasiswa. Di kampus-kampus Muhammadiyah seperti di Ternate, Tidore, hingga Pulau Bacan, semestinya ruang kelas menjadi medan dialektika, bukan menara dogma. Mahasiswa tidak hanya belajar untuk pintar, tetapi untuk bijak—tidak sekadar menguasai teori, tetapi mampu memahami konteks sosial-budaya tempat mereka hidup.
Dalam filsafat pendidikan Paulo Freire, pendidikan sejati lahir dari kesadaran kritis. Mahasiswa diajak menyadari realitas ketimpangan dan ketidakadilan, untuk kemudian menjadi agen perubahan. Dalam konteks Maluku Utara, di mana akses pendidikan dan infrastruktur masih timpang antara kota dan desa, mahasiswa Muhammadiyah mestinya tampil sebagai pelopor literasi dan pembebasan. Namun kenyataan berkata lain. Banyak mahasiswa yang hanya mengejar IPK, menumpuk sertifikat pelatihan, tanpa pernah bertanya untuk siapa dan untuk apa ilmu itu. Di sinilah tantangan besar kita. Tri Dharma bukan sekadar poin dalam buku pedoman kampus, tetapi harus menjadi jalan hidup: pendidikan bukan demi gelar, tetapi demi pencerahan.
Penelitian: Menggali Realitas, Menulis Kebenaran
Pilar kedua dari Tri Dharma adalah penelitian. Sayangnya, ini adalah bagian yang paling sering terabaikan. Penelitian sering kali menjadi kewajiban administratif semata, bukan sebagai proses intelektual yang sungguh-sungguh menggali realitas. Padahal, di bumi Maluku Utara, bahan penelitian berlimpah ruah. Dari isu kerusakan ekologi akibat tambang, kehilangan bahasa ibu, hingga potensi ekonomi lokal seperti kopra, pala, dan ikan tuna.Mahasiswa Muhammadiyah harus berani mengambil peran sebagai penulis kebenaran lokal. Kita tidak bisa terus-menerus mengutip jurnal luar negeri, tetapi harus mampu memproduksi pengetahuan dari realitas kita sendiri. Menulis desa, memetakan kebudayaan, mencatat perubahan sosial akibat industrialisasi—semua itu adalah kerja besar yang mendekatkan kampus ke akar rumput. Dengan demikian, penelitian bukan hanya tugas skripsi yang harus selesai agar bisa wisuda, melainkan bentuk tanggung jawab etis-intelektual. Di tangan mahasiswa yang sadar, penelitian bisa menjadi senjata perubahan, bukan hanya untuk mendapat nilai, tetapi untuk membela nilai-nilai.
Pengabdian: Dari Menara Gading ke Tanah yang Retak
Pengabdian kepada masyarakat adalah pilar ketiga dari Tri Dharma, dan mungkin yang paling konkret sekaligus paling menantang. Mahasiswa Muhammadiyah tidak cukup hanya turun ke desa saat KKN (Kuliah Kerja Nyata), kemudian kembali tanpa jejak. Pengabdian sejati adalah relasi yang dibangun secara jangka panjang, di mana ilmu kampus dipertemukan dengan kearifan lokal, dan dialog dua arah terjalin dengan tulus.Di banyak desa di Maluku Utara, masyarakat masih menanti kehadiran anak muda yang datang bukan untuk memotret kemiskinan, tetapi untuk mendengarkan dan bekerja bersama. Ketika mahasiswa mengajar anak-anak desa tanpa listrik, membantu ibu-ibu merancang usaha kecil, atau membuat peta potensi desa, di situlah Tri Dharma menjelma menjadi laku. Namun, sering kali program pengabdian bersifat seremonial. Proposal disusun, laporan dibuat, tetapi tidak ada kelanjutan. Padahal, tantangan sesungguhnya adalah membangun keberlanjutan. Bisa jadi, mahasiswa harus kembali ke desa itu lagi setelah lulus, bukan sebagai tamu, tetapi sebagai bagian dari perjuangan kolektif.
Muhammadiyah dan Laku Etis-Transformatif
Sebagai organisasi yang berdiri di atas prinsip Islam berkemajuan, Muhammadiyah menempatkan ilmu sebagai jalan ibadah dan pengabdian. Dalam tafsir yang lebih filosofis, Tri Dharma adalah jalan menuju kemanusiaan yang adil dan beradab. Ia bukan proyek akademik, tetapi bagian dari spiritualitas sosial.Karenanya, mahasiswa Muhammadiyah di Maluku Utara tidak boleh tercerabut dari akar sosialnya. Mereka harus membaca Al-Qur’an sambil membaca desa. Mereka harus belajar hadis sambil mendengar keluhan nelayan yang kehilangan ikan karena reklamasi. Di sinilah pentingnya integrasi iman, ilmu, dan amal. Kampus bukan hanya tempat membaca buku, tetapi medan tempur untuk membela yang lemah.
Menuju Laku Intelektual Progresif
Sudah saatnya Tri Dharma tidak dipahami sebagai beban kurikulum, tetapi sebagai semacam jalan hidup. Mahasiswa Muhammadiyah di Maluku Utara harus menjadi penggerak perubahan sosial yang berbasis pada pengetahuan dan nilai keadilan. Mereka harus menjadikan penelitian sebagai alat membaca realitas, pengajaran sebagai ruang transformasi, dan pengabdian sebagai jembatan antara ilmu dan kemanusiaan.Mereka harus melampaui sekadar menjadi “mahasiswa baik” yang patuh dan tepat waktu. Mereka harus menjadi pembelajar sejati yang berani mempertanyakan status quo, membongkar kemapanan, dan menulis sejarah baru. Bukan hanya sejarah tentang angka kelulusan, tetapi sejarah tentang keberpihakan dan perjuangan.
Epilog: Menulis Ulang Makna Mahasiswa
“Mahasiswa adalah agent of change,” begitu kata yang sering kita dengar. Tapi di balik slogan itu, kita butuh makna yang lebih dalam. Mahasiswa adalah pengembara intelektual, yang berjalan dari kampus ke kampung, membawa api ilmu untuk menerangi gelap zaman. Tri Dharma bukan sekadar teks suci di brosur universitas, tetapi jalan sunyi yang harus dilalui dengan penuh kesadaran.
Di Maluku Utara, dengan segala keterbatasan dan kekayaan budayanya, mahasiswa Muhammadiyah memiliki tanggung jawab besar. Tanggung jawab untuk menjadikan ilmu sebagai cahaya, bukan hanya sebagai gelar. Tanggung jawab untuk menjadikan kampus sebagai rumah ide dan kampung sebagai rumah aksi. Karena pada akhirnya, keberhasilan pendidikan tinggi bukan terletak pada megahnya wisuda, tetapi pada jejak yang ditinggalkan di tanah yang dulu sunyi.
Mari kita bawa kembali Tri Dharma ke dalam tubuh dan langkah kita. Dari kampus ke kampung. Dari teks ke laku. Dari hafalan ke kehidupan. Karena sejatinya, menjadi mahasiswa adalah tentang menjadi manusia yang tidak hanya tahu, tetapi juga peduli dan berani mengubah.***

 

Oleh : Agus Hi. Jamal

Akademisi

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *