Klikdua – Bersitegang antara warga Desa Wayamli, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, dengan aparat kepolisian saat unjuk rasa terkait aktivitas PT Sambiki Tambang Sentosa (STS) berbuntut panjang. Insiden yang terjadi pada Senin (28/4/2025) tersebut menyebabkan korban di pihak warga dan memicu gelombang kecaman dari berbagai elemen masyarakat.
Ketua Umum PB-Formmalut Jabodetabek, M. Reza A Syadik, mengecam keras tindakan represif aparat terhadap warga sipil yang sedang memperjuangkan hak atas tanah mereka. Ia menilai penggunaan kekerasan atas nama pengamanan investasi sebagai tindakan brutal yang mencederai prinsip negara hukum dan demokrasi.
“Kekerasan ini bukan hanya menciderai nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga merupakan upaya sistematis untuk memutilasi aspirasi masyarakat di negara demokrasi,” ujar Reza dalam keterangannya di Jakarta, Senin (28/4/2025).
Reza menilai tindakan aparat tersebut telah melanggar Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin hak atas perlindungan diri dan rasa aman, serta bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 33 yang melindungi hak menyampaikan pendapat secara damai.
Lebih jauh, PB-Formmalut Jabodetabek mendesak Kapolri untuk segera mengevaluasi Kapolda Maluku Utara yang dinilai bungkam dalam menyikapi persoalan ini, serta mencopot Kapolres Halmahera Timur yang dianggap tidak mengedepankan pendekatan humanis terhadap masyarakat.
“Kami tidak ingin melihat kepolisian di Halmahera Timur hanya menjadi alat pengamanan korporasi. Kepolisian harus mengabdi kepada rakyat, bukan kepada kepentingan modal,” tegas Reza.
Tak hanya itu, Reza juga mendorong Pemerintah Provinsi Maluku Utara, Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur, DPR RI Dapil Maluku Utara, serta DPD RI untuk tidak tinggal diam. Ia menuntut agar lembaga-lembaga tersebut mengeluarkan rekomendasi pencabutan izin PT STS kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Rakyat pemilik sah tanah air tidak boleh dibiarkan berjuang sendirian. Pemerintah wajib hadir, memberikan perlindungan nyata, dan tidak cukup hanya mengeluarkan pernyataan belaka,” tambahnya.
Reza mengingatkan bahwa dalam negara demokrasi, pendekatan dialogis dan penghormatan terhadap hak asasi manusia harus menjadi prinsip utama dalam penyelesaian konflik, bukan tindakan represif.
“Negara harus membuktikan kehadirannya untuk rakyat, bukan menjadi instrumen represi atas nama investasi,” pungkas Reza.(***)