Klikdua – 90 ribu metrik ton bijih nikel yang awalnya dimiliki oleh PT Kemakmuran Pertiwi Tambang (KPT), kini menjadi sorotan tajam publik. Bijih tersebut yang telah siap diproduksi di wilayah Halmahera Timur, Maluku Utara, berubah status menjadi barang sitaan negara setelah izin usaha pertambangan (IUP) PT KPT dicabut oleh Pemerintah Provinsi Maluku Utara (Pemprov Malut).
Namun, ironisnya, ore nikel yang seharusnya diamankan sebagai barang sitaan diduga telah dijual oleh perusahaan tambang lain, yakni PT Wana Kencana Mineral (WKM). Nilai ekonominya tidak kecil: penjualan ore yang dilakukan sejak akhir 2021 itu diperkirakan menghasilkan keuntungan puluhan miliar rupiah.
Masalah kian pelik ketika proses pencabutan IUP dan pengalihan pengelolaan tambang ke PT WKM dilakukan tanpa penjelasan terbuka. Tidak ditemukan publikasi resmi yang menyatakan secara terang benderang dasar hukum atau mekanisme penyerahan bijih nikel dari PT KPT ke PT WKM. Aktivis asal Maluku Utara yang kini berbasis di Jakarta, M. Reza A. Syadik, sejak Februari 2025 aktif memantau perkembangan kasus ini dan mengkritisi lemahnya transparansi dan akuntabilitas publik.
Pertanyaan Kunci, Siapa yang Berhak atas Ore Sitaan Negara?
Dalam kerangka hukum Indonesia, setiap barang sitaan negara wajib dikelola oleh negara, dalam hal ini melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), bukan oleh entitas swasta. Oleh karena itu, muncul pertanyaan mendasar Apakah PT WKM ditunjuk secara resmi oleh negara untuk mengelola atau menjual bijih nikel sitaan tersebut?
Jika tidak, maka aktivitas penjualan oleh PT WKM dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum, termasuk dugaan penggelapan aset negara, tindak pidana korupsi, dan pelanggaran terhadap UU Minerba.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) wajib mengevaluasi dan menjejaki langsung terhadap dugaan penyimpangan ini. Penjualan barang sitaan negara tanpa dasar hukum yang jelas adalah tindakan yang mencederai prinsip tata kelola pertambangan yang baik dan berpotensi merugikan keuangan negara dalam jumlah besar.
“Jika pemerintah pusat tidak segera turun tangan, maka dugaan persekongkolan antara perusahaan dan sejumlah oknum pejabat daerah semakin menguat,” tegas M. Reza A. Syadik dalam pernyataannya.
Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Malut disebut telah menyelidiki kasus ini sejak Februari 2025. Namun hingga April, belum ada kejelasan status hukum PT WKM. Penyelidikan baru menyasar dua instansi, tanpa menyentuh inti kasus, “siapa yang mengizinkan penjualan ore sitaan dan siapa yang menikmati keuntungannya?
Yang mengkhawatirkan, aktivitas penjualan ore terus berlangsung, bahkan setelah kasus ini mencuat ke publik. Polda Malut dinilai lamban dan tidak responsif, sehingga publik mempertanyakan integritas dan keseriusan institusi kepolisian dalam menegakkan hukum tambang di Maluku Utara.
Tantangan kepada Kapolda Baru, Bongkar Kejahatan Tambang!
Dalam momentum pergantian Kapolda Maluku Utara, M. Reza A. Syadik menantang kepemimpinan baru di tubuh Polda Maluku Utara untuk serius membongkar praktik-praktik kejahatan tambang di wilayah tersebut. evaluasi total dan gelar perkara terbuka terhadap PT WKM dan seluruh pihak yang terlibat, termasuk pejabat Pemprov Malut.
“Pertanyaan simpelnya, Siapa yang memberi izin PT WKM menjual hasil tambang milik pihak lain? Apakah Pemprov tahu, atau justru terlibat? Ini yang harus dibongkar,” tegas Reza.
Lebih jauh, bahwa pada tahun 2018, Pemprov telah menetapkan dana jaminan reklamasi sebesar Rp 13,4 miliar kepada PT WKM. Penetapan ini tertuang dalam surat resmi Nomor 340/5c./2018, sebagai bentuk kewajiban perusahaan atas kegiatan produksi 2018–2022.
Namun anehnya, hingga kini tercatat bahwa PT WKM hanya menyetor Rp 124 juta, dan itu pun hanya dilakukan sekali pada tahun 2018. Ini memperkuat dugaan bahwa pengawasan terhadap kewajiban lingkungan perusahaan juga diabaikan.
Kasus ini bukan hanya menyangkut pelanggaran dalam sektor tambang. Ini adalah ujian integritas negara dalam menjaga kedaulatan hukum dan aset publik. Negara harus menunjukkan bahwa barang sitaan tidak bisa dijarah oleh segelintir pihak yang berlindung di balik kekuasaan atau kekuatan modal.
Jika tidak ada tindakan tegas, maka negara secara perlahan kehilangan kendali atas sumber dayanya sendiri.(***)