Oleh: Muh resky pratama
Wakil Sekretaris PA Umum HMI Cabang Ternate
Indonesia dengan status negara berkembang tentu memilki permasalahan ekonomi, lapangan pekerjaan menjadi salah satu kebutuhan yang fital, ditengah sumber daya alam yang melimpah, mendorong indonesia membangun investasi pertambangan, yang kita tahu pada tahun 1967 oleh pemerintahan soeharto lewat pertemuan jenewa menghasilkan undang-undang penanaman modal asinga (PMA).
Modal-modal asing masuk mengelola SDA Indonesia, dengan
Kemunculan pertambangan memiliki polemik, selain mengurangi angka pengangguran atau menambah lapangan pekerjaan satu sisi menghasilkan dampak-dampak negatif, baik pada aspek ekologi juga merembes sampai pada sosial kultur masyrakat.
Pada 08 September Tahun 2022 berdasarkan kutipan media masa Betahita bahwa 16 Ribu Hektar hutan di Halmahera Utara hilang samapai saat ini atau dua tahun belakangan tentu kerusakan hutan kedepaanya akan semakin besar, selain di Halmahera Utara yang baru-baru ini terjadi di Halmahera Tengah terhadap pencemaran sungai sagea sehingga masyarakay tidak pagi dapat mengkonsumsi air bersih.
Selain pencemaran sungai, yang paling masif masyarakat lingkar tambang di Halmahera tengah susah menikmati udara segar karena aktifitas perusahan yang tidak hentinya, aktifitas perusahaan itu mengakibatkan beredarnya debu, ini tentu sangat dkhawatirkan akan berdampak pada kesehatan masyarakat
Halmahera selatan tepatnya di Pulau Obi dengan perusahan tambang memiliki masalah yang sama dalam aspek ekologi.
Tepatnya desa kawasi, kalau kita membuka google maps perusahaan harita , kita akan temukan desa kawasi dikelilingi oleh lokasi perusaan tambang, dalam keadaan demikian masyarakat desa kawasi tentu mengalami kerisis air bersih, karena kawasan pegunungan sikataran desa sudah ada operasi perusahaan tambang.
Berdasarkan keteragan penduduk asli desa kawasi selain krisis air bersih pencemaran lautpun terjadi sehingga masyarakat nelayan harus menempuh jarak yang jauh untuk mencari ikan.
Selain aspek ekologi, aspek sosial kultur juga ikut dipengaruhi. Keberadaan tambang tentu mengundang kedatangan tenaga kerja yang menghasilkan perubahan sosial kultur, akulturasi budaya mengubah sosial kultur bahkan paling mendasar masyarakat lingkar tambang, jika kita melacak setiap perusahaan tambang selalu diiringi dengan kemunculan aktivitas prostitusi, hal ini tentu mempengaruh cara pandang dalam konteks keaagamaan atau tradiosonal, karena sangat bertantangan dengn nilai-nilai setempat.
Kedatangan kebudayaan baru dengan corak industri ini menjadi budaya masa yang mendominasi, sedangkan kebudayaan asli menjadi nilai luhur cenderung tergerus akibat akulturasi budaya yang dominan.
Selain perubahan pada nilai-nilai sosial kultur, satu sisi menghasilkan konflik kalau kita melacak perkembangan media sosial atau media masa beberapa kali terjadi konflik antara masyarakat dilatar belakangi oleh disparitas masyarakat asli dan pendatang, tentu ini menjadi polemik dalam bernegara.
Jika kita lihat ulasan dampak tambang di atas baik dalam aspek ekologis dan aspek sosial kultur sangat memprihatinkan masa depan bangsa kedepannya, benar bahwa secara ekonomis memiliki dampak positif tetapi secara ekologis dan sosial kultur justru sebaliknya, secara tata kelola birokratis tidak memperhatikan prinsip-prinsip yang berkelanjutan, hingga pertambangan yang ada dimaluku utara 10 sampai 15 tahun kedepan mengakibatkan kerusakan lingkungan, masyarakat akan kehilangan mata pencarian akibat alam yang rusak, selain area pertambangan faktanya juga berpengaruh terhadap laut, hingga merusak ekosistem maka perlu ada pengelolaan yang memperhatikan prinsip-prinsip berkelanjutan.
Dampak kesehatanpun sama ketika kekurangan air bersih dan polusi udara yang sangat signifikan berdampak pada kesehatan, kalau kita mengambil kesimpulan ketika melihat keaadaan ini bahwa ada kesengaajaan karena aturan amdal harusnya mengatur tentang jarak pertambangan dengan pemukiman pemerintah, tetapi ini tidak sesuai dengan fakta lapangan. Justru masyarakat mengalami dampak yang luar biasa.
Selain dari aspek ekologis, aspek sosial kultur juga sudah seharusnya punya solusi, memang benar bahwa akulturasi budaya itu sangat baik bagi perkembangan dan keterbukaan, tetapi konteksnya ketika masuknya tambang yang diperhatikan hanya faktor keuntungan ekonomis, hal-hal yang berupa nilai dan budaya cenderung dikesampinkan , prostitusi yang bertantangan dengan nilai moralitas setempat cenderung dilegalkan, 5 sampai 10 tahun kedepan mungkin saja bisa sedikit bertahan tetapi bagaiamana dengan generasi muda, apakah mereka tetap mempertahakan ataukah tergerus, faktanya mereka cenderung tergerus tanpa ada analisa bijaksana dalam mengambil kesimpulan.
Dari semua itu bahwa ada tata kelola birokrasi daerah yang buruk, mengenyampingkan hal-hal yang non-ekonomis, dari kalangan bawah baik pelosok halmahera yang tentunya kita mengakui secara pendidikanpun masih dibawah rata-rata. Kami menyimpulkan bahwa harus ada perbaikan dalam tata kelola birokrasi kita, memberikan edukasi pada masyarakat sebelum masuknya arus ini dan benar-benar megelola sumber daya alam dengan melakukan pengawasan secara bijaksana.