Hampir seluruh negara di dunia menjustifikasi demokrasi sebagai raison de-etre yang menawarkan keadilan berbasis kedaulatan rakyat. Demokrasi seolah menjadi primadona yang dimitoskan hingga kini.
Namun lahir pertanyaan, apakah demokrasi adalah model terbaik yang mampu membentuk ruang sosial yang estetik? Atau kah justru hanya sebatas fatamorgana?
Sejak di gagasnya sistim demokrasi pada Abad ke-5 SM hingga kini, ketimpangan dalam demokrasi semakin bertumbuh karena kedaulatan yang menjadi hak rakyat nyatanya sebatas temporal. bagaimana tidak, Kedaulatan itu hanya di miliki oleh rakyat pada memontum saja, setelah mendapatkan kursi kekuasaan maka kedaulatan itu berpindah ke tangan penguasa.
Kebebasan mengutarakan pendapat, kritikan serta bereskpresi di ruang pablic ditutup rapat dengan dalih kerja demokrasi selalu di bawah koridor pemerintahan dan para elit terkait. Akhirnya yang tak memiliki pengetahuan tentang kepemimpinan serta tidak memiliki ciri seorang pemimpin pun mampu menduduki bangku kekuasaan jika pada pemilihan umum mendapatkan suara terbanyak.
rakyat dikorbankan dengan janji dan harapan kesejahteraan yang tak kunjung nyata. Demokrasi dikebiri habis-habisan, orentasi keadilan cendrung berputar pada ruang privasi penguasa, Faktanya hari ini kita masih saja diperhadapkan pada praktik politik yang jauh dari apa yang di cita-citakan.
Hal yang serupa juga di alami oleh bangsa indonesia, dimana Demokrasi tidak lagi mampu menjamin hak-hak rakyatnya secara menyeluruh. Mulai dari pendidikan, kesehatan hingga sampai pada ekonomi. Masih banyak yang dipersulit untuk mendapakan pelayanan kesehatan secara optimal
pendidikan yang tidak merata, bahkan institusi pendidikan saat ini tidak lagi menjadi tempat memupuk pikiran tapi disulap menjadi lahan bisnis, Ekonomi yang semakin mengalami inflase, dan masyarakat yang sulit mendapakan perkerjaan serta budaya korupsi yang mengkarat di lingkaran kekuasaan
Kondisi abnormal ini menjadi potret buruk bagi demokrasi kita yang makin kehilangan nilai di mata rakyat. Hal itu memantik sistim Aristokrasi bermunculan, menjadi antibiotik di tengah krisisnya kesejatraan. Berpegang pada pikiran Plato, filsuf yang hidup pada 429 SM “bahwa sistim Aristokrasi sebuah kepemimpinan yang ideal, yang di pegang oleh para filosof dan cendekiawan”.
Pada pandangan pablic beranggapan Aristokrasi mirip dengan Monarki, yaitu bertumpuh pada kepentingan keluarga atau kelompok. Namun pada esensinya Aristokrasi justru berbeda. Jika Monarki menawarkan kepentingan atas dasar keluarga, maka Aristokrasi memberikan fasilitas kesejatraan secara kolektif juga mengaliri kepemimpinannya pada orang-orang yang juga mempunyai kapasitas pengetahuan dan ciri-ciri pemimpin ideal dalam suatu negara.
Dengan bagitu, rakyat secara langsung terdorong mempelajari dan menambah wawasan demi melahirkan pemimpin yang sesuai dengan nilai-nilai Aristokrasi. Akhirnya yang di kejar bukan lagi soal kuantitas, atau banyaknya sumber daya manusianya, tapi kualitas, yang mampu memberikan dampak positif bagi kerberlangsungan kehidupan yang tercerahkan kedepannya, suatu upaya menekan indeks kebodohan untuk menduduki kursi kekuasaan yang sudah lama berlangsung dan sulit di wujudkan.***
Riski D Falillah (Anggota Panggung Filsafat) Pusat Kajian Filsafat Humaniora.