Demokrasi Kampus Dikebiri

Doc Istimewah

Penulis : Ketua DPK GMNI TEKNIK UMMU, Harmawi Ade

Klikdua.Com

Demokrasi harusnya hidup di setiap ruang percakapan dan aktifitas masyarakat. Ruang kampus sebagai lembaga vital negara adalah tempat dimana sumber daya manusia dibentuk dalam ruang dialektika yang berlandaskan pada kebebasan berekspresi, berkelompok dan menyampaikan pendapat. Selain itu kampus, bisa di katakan menjadi ruang terakhir Demokrasi itu dirawat dan terus digaungkan. Aktifitas ini sebenarnya adalah pancaran dari sebuah kemerdekaan dan hak asasi manusia yang sudah ada sejak lahir.

“Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, dan dijalankan bersama rakyat. Dalam konsep pemerintahan demokrasi, pertanggungjawaban kepada rakyat menjadi sangat penting. Oleh karena itu, peran perguruan tinggi menjadi sangat penting dalam mengawal jalannya demokrasi” (Ketua MK Hamdan Zoelva). Status dan hak mahasiswa dijamin dalam Undang-Undang Perguruan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012, pasal 6 menjamin kebebasan civitas akademika berbasis kebenaran ilmiah dengan menjunjung tinggi hak manusia tanpa diskriminasi dan memberikan partisipasi aktif bagi civitas akademika untuk pengembangan budaya akademik dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang menunjang potensi demokratisasi kampus. Segala tindakan dibenarkan atas dasar kebenaran ilmiah, tidak ada pelarangan berdasarkan relasi kuasa yang berwatak apapun itu.

Kampus dan Model Demokratisasinya merupakan sebuah penjaminan ruang yang aman bagi seluruh elemen masyarakat kampus. Masyarakat kampus yang berkegiatan dalam mengembangkan potensi dan menyuarakan pendapat dengan dasar kebenaran ilmiah serta mengedepankan prinsip non-diskriminatif tidak bisa dilarang dalam alasan apapun. Sistem demokratisasi kampus dijalankan guna menjaga posisi setara antara birokrat kampus dan mahasiswa di dalam proses pembelajaran, demokrasi menjadi media yang memberikan ruang bagi seluruh elemen kampus untuk ikut andil dan aktif dalam mengetahui dan menentukan setiap arah kebijakan. Maka dari itu, segala bentuk pelarangan tanpa dasar kebenaran ilmiah dan menutup ruang bagi masyarakat kampus merupakan bentuk perampasan ruang demokrasi.

Pembatasan dan pengebirian ruang Demokrasi baik individu dan organisasi (Semisal Organisasi Mahasiswa intra maupun ekstra) merupakan tindakan yang menyalahi dan melenceng dari amanat konstitusi, sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 28E ayat 3 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang “Setiap Orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat” itu berarti hak-hak ini dilindungi oleh konstitusi. Selain itu, hak asasi manusia dalam hal menyampaikan pendapat dan berpartisipasi dalam pembangunan tanah air ini merupakan keharusan yang tidak boleh dirantai pada dominasi kekuasaan, apalagi sampai menggunakan militer sebagai lembaga yang seharusnya mengayomi dan melindungi masyarakat justru menjadi penjaga kepentingan segelintir orang yang berkuasa.

Praktik-praktik pembungkaman ruang Demokrasi kampus bisa dibaca sebagai bagian dari pemicu terjadinya disintegrasi yang menimbulkan perpecahan diantara mahasiswa dan pihak kampus. Sampai disini kita mungkin bertanya siapa yang sering melakukan pembungkaman ruang Demokrasi di kampus?, yang pastinya secara struktural kelembagaan kita dapat mengetahui Aktor-aktornya. Semisal baru-baru ini sempat viral via chat dari seorang Wakil rektor II di salah Universitas yang ada di Maluku Utara berisi tentang pembungkaman aktifitas organisasi mahasiswa lainnya untuk melakukan mimbar bebas, lapak buku dan aktifitas lainnya di dalam kampus. Hal ini kemudian menimbulkan rasa geram dan tidak Terima atas ungkapan Warek II itu, sehingga berapa organisasi itu berapa kali melakukan demontrasi di lingkungan kampus. Saya tidak perlu menjelaskan masalah ini lebih detail sebab sudah termuat dan viral di berapa media masa.

Sebenarnya Akademisi atau birokrat kampus mereka paham betul soal Demokrasi itu, apalagi Rata-rata tenaga pengajar dan pimpinan di kampus ini Strata Pendidikannya sudah tingkat S2 dan S3. Yang jika kita lihat dari tingkat pendidikannya, sudah barang tentu mereka memahami betul bagaimana hak setiap orang dalam menyampaikan pendapat dan melakukan aktivitas di lingkungan kampus selama itu tidak bertentangan dengan amanat konstitusi dan Pancasila. Tapi mengapa yang terjadi sekarang, pelaku pembungkaman ruang Demokrasi mahasiswa adalah akademisi?, berangkat dari pertanyaan ini kita mungkin akan sampai pada dua kecurigaan; pertama, ada masalah yang terjadi di kampus yang sengaja ditutup-tutupi dan yang kedua, akademisi ini tidak paham atau tidak tuntas memahami Demokrasi.

Orang semacam ini tidak layak menyandang label sebagai insan akademis. Ketidakmengertian akan praktik dalam mencemooh ruang Demokrasi mahasiswa justru tanpa di sadari ia telah mengotori almamater kampus yang telah memberinya gelar. Kondisi ini ada relevansinya dengan apa yang diucapkan oleh “Rocky Gerung” Bahwa Ijazah adalah tanda ia pernah sekolah bukan tanda bahwa ia pernah berpikir. Dalam melihat kondisi yang ada pihak kampus harus segera mengambil langkah cepat untuk mensterilkan kembali keadaan kampus sebagai ruang Demokrasi. Kalau tidak, virus semacam ini akan merambah dan dapat menyebabkan kematian cara pikir mahasiswa akibat trauma karena dominasi kuasa dari birokrat kampus. Hal ini jika dibiarkan potensi kepasifan berpikir mahasiswa menjadi budaya yang membabi buta. Sehingga yang ada adalah aktifitas mahasiswa yang rutin dan dangkal.

Benar bahwa setiap Perguruan tinggi memliki aturannya sendiri namun aturan itu mesti disesuaikan dengan konstitusi di tanah air ini, apalagi soal Demokrasi. Dan jika Pimpinan Perguruan tinggi ataupun birokrat kampus dengan sengaja membuat aturan-aturan yang menghimpit ruang berserikat dan berpendapat maka aturan ini sudah pasti melenceng jauh dari amanat UUD 1945, apalagi dengan alasan-alasan yang tak rasional. Sementara kita tahu betul bahwa kampus menjadi wadah yang memproduksi cara berpikir yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Masalah ruang kebebasan Demokrasi semakin terhimpit dan semakin rumit akibat dari berapa organisasi mahasiswa yang ada didalamnya juga ikut mengamini perampasan ruang Demokrasi di lingkungan kampus. Mahasiswa sebagai subjek yang terilhami cara pikir yang rasional dan menjunjung tinggi kebenaran ilmiah harusnya tidak ikut serta membebek pada kekuasan. Dalam Pemikiran Slavoz zizek dan Alain Badiou tentang subjek yang tidak akan sampai pada tahapan untuk bereaksi sebagai subjek militan dan kritis karena lebih dulu dominasi oleh simbol Kekuasaan.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *