Labuha – Kebijakan Bupati Halmahera Selatan, Usman Sidik dalam memberhentikan atau mencopot Saiful Turuy dari jabatannya sebagai sekretaris daerah Kabupaten Halmahera Selatan merupakan salah satu kebijakan yang patut dipertanyakan.
Hal ini disampaikan oleh Akademisi Halmahera Selatan, Muhammad Kasim Faisal berdasarkan release yang diterima media ini, Minggu 1 Oktober 2023.
Sementara dari alasan pemberhentian Saiful Turuy sebagai sekda yang termuat dalam putusan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) terdapat penjelasan yang menyatakan bahwa Saiful Turuy diberhentikan atas dasar pelanggaran Kode Etik selaku ASN di lingkungan Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan.
Hal ini tentunya patut dicurigai sebab alasan mendasar pemberhentian sekda Halmahera Selatan tersebut di dasarkan pada penyelewengan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) sebesar 6 Miliar milik Pemerintah Halmahera Selatan telah di transfer ke Bank Saruma pada tanggal 14 Juli 2022 oleh Saiful Turuy atas nama Pemda Halmahera Selatan.
Masalah ini sudah tentunya sangat tidak mungkin apabila di perhatikan secara jelas. Sebab, dalam memori penjelasan kedua bela pihak yaitu Pemda dan Saiful Turuy dengan pernyataan bahwa pemberian deposit kepada BPRS Saruma Sejahtera sudah sesuai dengan prosedur dimana pengelolaan Anggaran daerah dilakukan melalui kebijakan satu atap yaitu pemerintah daerah diwakili oleh Dinas Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) yang saat itu dipimpin Aswin selaku ketua/kepala dinas.
Namun, setelah Komisi Etik ASN melakukan penelusuran lebih dalam, dan kebijakan yang di ambil seakan akan saiful turuy adalah satu-satunya yang melakukan pelanggaran etik sehingga aswin tidak diberikan sangsi sebagaimana yang diberikan pada Saiful Turuy.
Pada konteks lain, kesalahan penyelewengan anggaran dalam beberapa pernyataan dan sangsi yang diberikan seharusnya tidak pada pemberian sangsi etik kepada ASN melainkan harus melalui proses hukum yang tegas.
Lebih mirisnya, dalam penjelasan dan kasus Transfer dana APBD 6 M, dimana pelaku saling melempar kesalahan. Sementara Bupati tidak rasional apabila transfer tersebut tidak diketahui olehnya dan kalaupun tidak diketahui oleh bupati, asas kepercayaan yang patut dipertanyakan adalah Kepala dinas BPKAD sebab dengan pelayanan anggaran satu atap tersebut seluruh kebijakan pengelola keuangan diberikan sepenuhnya kepada dinas tersebut.
Adapun kasus ini merupakan salah satu kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang kemudian itu dilakukan oleh oknum-oknum terkait. Sebab, pada kasus TPPU setiap transaksi keuangan yang patut dicurigai dan melibatkan pihak ke tiga sebagai bagian dari pelaku-pelaku. Kenapa demikian, sebab poin pertama dalam kasus TPPU adalah Proses yang pertama adalah placement atau penempatan. Proses ini merupakan upaya untuk menempatkan suatu dana atau aset yang didapatkan dari sebuah kegiatan tindak kriminal menuju sistem keuangan.
Sementara sistem keuangan ini bisa berupa penempatan uang pada bank, memberikan sejumlah biaya pada suatu usaha. Kemudian, kegiatan tersebut dibuat seolah-olah sah seperti halnya memberikan kredit maupun pembiayaan dengan menjadikan kas sebagai kredit. Contoh dari proses penempatan pada tindakan money laundering adalah membeli barang dengan harga yang cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan pribadi.
Kedua, Setelah melalui proses pertama, yakni penempatan, oknum pencucian uang biasanya akan melakukan proses transfer atau layering. Proses ini sendiri dilakukan dengan cara memisahkan dana hasil pencucian uang dari sumbernya. Proses kedua ini bisa dilakukan dengan sejumlah tahap transaksi finansial guna menyembunyikan maupun menyamarkan asal-muasal dana atau aset tersebut. Dalam kegiatan layering ini, pelaku akan melakukan proses pemindahan aset atau dana dari suatu rekening maupun lokasi sebagai hasil dari placement menuju tempat lain.
Hal ini bisa dilakukan melalui sekumpulan transaksi yang bisa dibilang kompleks dan dibuat dengan tujuan untuk menyamarkan, serta menghilangkan jejak dari sumber dana yang digelapkan tersebut.
Proses yang terakhir dari tindakan pencucian uang adalah integration. Proses integrasi atau menggunakan harta kekayaan merupakan upaya untuk menggunakan aset atau dana yang telah terlihat sah dari tindakan pencucian uang tersebut.
Penggunaan harta kekayaan tersebut bisa dengan cara menikmatinya secara langsung, melakukan investasi di banyak instrumen, dan bentuk kekayaan materi maupun keuangan. Selain itu, proses integration ini juga bisa dilakukan oleh pelaku money laundering dengan menggunakan dana yang didapatkan untuk membiayai berbagai kegiatan usaha yang sah. Pelaku juga bisa memberikan dana pada kegiatan tindak kriminal lainnya yang sekiranya sulit dideteksi. Pada umumnya, pelaku tidak banyak mempertimbangkan hasil atau dana yang akan didapatkannya. Oknum money laundering juga seringkali menganggap remeh besaran biaya yang harus dikucurkan agar niat buruknya berhasil dilakukan dan menghilangkan jejak sumber kekayaan yang didapatkan tersebut. Sebab, tujuan pencucian uang adalah untuk menggelapkan atau menghilangkan jejak atau sumber uang.
Dengan begitu, hasil dari kegiatan kejahatan tersebut bisa dinikmati oleh pelaku dan digunakan dengan sesuka hati tanpa takut ada pihak yang mengetahui. Hal ini jika di sandingkan dengan transaksi yang terjadi antara Pemkab Halmahera Selatan terbilang sudah terindikasi TPPU karena dengan dalil-dalil yang secara sah terbukti secara Hukum saudara Saiful Turuy telah melakukannya dengan mengatasnamakan PemKab Halsel dan kemudian turut terlibat Aswin selaku ketua tim pengelola anggaran daerah.
Perihal ini tentunya tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS dan pada Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU)
Olehnya itu Aparat Penegak Hukum (APH), baik Kejati maupun Polda seharusnya lebih jelih dalam melihat kasus ini, Sehingga tidak terkesan tutup mata soal kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang terjadi di Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan soal penyelewengan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) sebesar 6 Miliar milik Pemerintah Halmahera Selatan. (RLz)